DISUSUN
OLEH :
NAMA
: 1 AMIRAH NATASYAH (20212712)
2 DINA PERMATASARI (22212167)
3 KARSANTI RENO A (24212028)
KELAS
: 2EB14
HAK DAN
KEWAJIBAN KONSUMEN
- Hak-hak konsumen
Sebagai pemakai
barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang
hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang
kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil
terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian
bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU
Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
- Hak untuk memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan .
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
- Hak untuk didengar pendapat keluhannya
atas barang/jasa yang digunakan.
- Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
- Hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen.
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam
pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang
mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi
dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain
hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan
bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering
dilakukan secara tidak
jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan
curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan
demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah
diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur
tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang
melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
2. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai
dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan.
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa.
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati.
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN
KEWAJIBAN PELAKU USAHA
1.
Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen,
pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
- Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan.
- Hak untuk mendapat perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
- Hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
- Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
2.
Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
- Beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya.
- Memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
- Memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
- Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku.
- Memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan
seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak
dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang
harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen
merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan
ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan
UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan
kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha
yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
PERBUATAN
YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat
dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi
pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
- Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih
atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau etiket barang tersebut;
- Tidak sesuai dengan ukuran, takaran,
timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
- Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan
atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
- Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
dan/atau jasa tersebut;
- Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa
atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang
tertentu;
- Tidak mengikuti ketentuan berproduksi
secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
- Tidak memasang label atau membuat
penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau
netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama
dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
- Tidak mencantumkan informasi dan/atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur
oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan
minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap
daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan
Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib
memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada
konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan
(3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha
dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3) Pelaku usaha
dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau
bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
UU PK tidak memberikan
keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila
kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan
sebagai berikut:
- Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh)
lagi.
- Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai
atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
- Bekas: sudah pernah dipakai.
- Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak
baik lagi).
Ternyata cukup sulit
untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda
tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih
dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti
pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda
tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak
berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari
pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan
barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
TANGGUNG
JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi,
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan
perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang
nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19
mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan
atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20
dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22
menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut
hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand
diderita konsumen, apabila :
- Barang tersebut terbukti seharusnya tidak
diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
- Cacat barang timbul pada kemudian hari.
- Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan
mengenai kualifikasi barang.
- Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
Lewatnya jangka waktu
penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang
diperjanjikan
SANKSI
BAGI PELAKU USAHA
Sanksi Bagi Pelaku Usaha
Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar
Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8,
9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal
18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal
11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang
Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian
* Hukuman tambahan ,
antara lain :
o Pengumuman keputusan
Hakim
o Pencabuttan izin
usaha.
o Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari
peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan
disebarluaskan kepada masyarakat .
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen
Iklan sebuah produk adalah bahasa pemasaran agar barang yang
diperdagangkan laku. Namun, bahasa iklan tidak selalu seindah kenyataan.
Konsumen acapkali merasa tertipu iklan.
Ludmilla Arief termasuk konsumen yang merasa dikelabui saat membeli kendaraan
roda empat merek Nissan
March. Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ telah
menarik minat perempuan berjilbab ini untuk membeli. Maret tahun lalu, Milla--
begitu Ludmilla Arief biasa disapa—membeli Nissan March di showroom Nissan
Warung Buncit, Jakarta Selatan.
Sebulan menggunakan moda transportasi itu, Milla merasakan keganjilan. Ia
merasa jargon ‘irit’ dalam iklan tak sesuai kenyataan, malah sebaliknya boros
bahan bakar. Penasaran, Milla mencoba menelusuri kebenaran janji ‘irit’
tersebut. Dengan menghitung jarak tempuh kendaraan dan konsumsi bensin, dia
meyakini kendaraan yang digunakannya boros bensin.
“Sampai sekarang saya ingin membuktikan kata-kata city car
dan irit dari mobil itu,” ujarnya ditemui wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Selasa (10/4).
Setelah satu bulan pemakaian, Milla menemukan kenyataan butuh satu liter bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga
8,2 kilometer (km). Rute yang sering dilalui Milla adalah
Buncit–Kuningan-Buncit. Semuanya di Jakarta Selatan. Hasil deteksi mandiri itu
ditunjukkan ke Nissan cabang Warung Buncit dan Nissan cabang Halim.
Berdasarkan iklan yang dipampang di media online
detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu liter
bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan
March. Karena itulah Milla berkeyakinan membeli satu unit
untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis berdasarkan hasil tes majalah
Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi,” imbuhnya.
Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla
hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla
meminta dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi. “Saya
berharap diadakan road test dengan ada
saksi,” kata karyawati swasta itu.
Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. Milla meminta
tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI). Perjuangannya berhasil. Putusan
BPSK 16 Februari lalu memenangkan Milla. BPSK menyatakan NMI melanggar Pasal 9
ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya
mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.
Tak terima putusan BPSK, NMI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang lanjutan pada 12 April
ini sudah memasuki tahap kesimpulan. Dalam permohonan keberatannya, NMI meminta
majelis hakim membatalkan putusan BPSK Jakarta.
Sebaliknya, kuasa hukum Milla, David
ML Tobing, berharap majelis hakim menolak keberatan NMI. Ia meminta majelis
menguatkan putusan BPSK. Dikatakan David, kliennya kecewa pada iklan produsen
yang tak sesuai kenyataan.“Tidak ada kepastian angka di setiap iklan Nissan
March dan tidak ada kondisi syarat tertentu. Lalu kenapa tiba-tiba iklan itu ke
depannya berubah dengan menuliskan syarat rute kombinasi dan eco-driving.
Ini berarti ada unsur manipulasi,” ujarnya usai persidangan.
Kuasa hukum NMI, Hinca
Pandjaitan, menepis tudingan David. Menurut Hinca, tidak ada kesalahan
dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah sesuai prosedur, dan
tidak membohongi konsumen. “Iklan Nissan jujur, ada datanya dan rujukannya.
Kalau ada perubahan iklan, itu mungkin asumsi merek. Namanya iklan. Itu kan
cara menggoda orang,” pungkasnya.
Sumber :
Analisis
Iklan
memang ditujukan kepada konsumen agar tertarik untuk membeli produk atau barang
yang akan ditawarkan. Akan tetapi seharusnya iklan itu tidak menjurus ke
penipuan, karena hal tersebut dapat mebuat konsumen hilang kepercayaan terhadap
produk yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut dan akan mengakibatkan kerugian
tersendiri bagi perusahaan tersebut. Dari kasus tersebut konsumen sudah
dirugikan terhadap haknya yaitu Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa, Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskrimainatif.Berdasarkan kasus tersebut maka perusahaan tersebut telah
melanggar UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yang berlaku sejak 20 April 2000 tentang
perlindungan konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar