Selasa, 17 Maret 2015

Tulisan untuk tugas softskill 1 "Purnama Untuk MAMA"

K
alau ada orang yang bertanya padaku: Siapa superhero yang paling keren menurut kamu?
Aku bakal langsung menjawab tanpa ragu: Mama!
Tak hanya mengandung, melahirkan dan menyusuiku, Mama juga melakukan banyak sekali kehebatan selama ia membesarkanku. Tapi kalau diminta menulis semua kehebatan Mama, kurasa aku perlu membabat semua pohon dibelantara Kalimantan untuk dibuat kertas. Karena nggak mungkin (dan nggak mau merusak lingkungan hidup! Hehe...).
Akan kuceritakan salah-lima saja dari ratusan bahkan atau bahkan ribuan kehebatannya.

  1. Mama bisa membuat kue bekalku kesekolah lebih enak dibanding kue keju buatan ibu-ibu teman-temanku. Memang aku nggak pernah (meskipun mau!) mencoba satu-per satu kue buatan ibu mereka, tapi Cuma kue keju buatan Mama yang bentuknya bisa kupesan sesuai keinginanku. Mau bulat-bulat, kurus-kurus panjang, segitiga, sampai bentuk bintang dan bulan sabit. Suatu hari, Mama bahkan memberi kejutan dengan membuat kue keju berbentuk inisial namaku! Makanya sekarang aku sering terpikir untuk mengklaim hak paten setiap melihat produk nugget ayam di supermarket yang dibentuk menjadi huruf-huruf alfabet. Aku yakin, produsennya pasti nyontek ide Mama!
  2. Mama pandai membuat gelembung sabun! Ini permainan favoritku dulu. Setelah aku mandi sore (dan pakai bedak dipipi sampai cemong!), Mama akan mengeluarkan baskom kecil berisi racikan air sabun. Entah apa yang dimasukkan Mama kedalamnya atau bagaimana komposisi air dan sabunnya. Yang jelas, racikan Mama bisa menghasilkan gelembung yang banyak dan tidak mudah pecah. Lantas Mama akan duduk dilantai teras rumah kami, meniup selaput sabun dengan lekukan kawat yang diambilnya dari bekas gantungan baju lalu membiarkanku mengejar gelembung sampai puas.


  1. Tidak hanya melulu bermain, Mama juga selalu peduli pendidikan dan mengusahakan agar aku dapat pendidikan yang terbaik – meskipun kami kesulitan biaya. Pernah satu waktu aku ngotot ikut les Bahasa Inggris karena iri melihat anak-anak sekolah swasta yang sudah dapat pelajaran bahasa inggris sejak SD. Mama bilang, aku bisa belajar bahasa inggris tanpa harus les yang mahal. Jadilah suatu hari Minggu kami ke tengah kota. Tujuannya: Malioboro! Setiap kami berpapasan dengan turis asing disana, Mama menyuruhku menegurnya. “Hi Sir, how are you?” atau “Hi Mam, my name is Eva!”. Hahaha...
Sederhana memang, tapi aku langsung merasa jadi anak paling cas-cis-cus se-Yogyakarta. Mama juga tampak bangga dan sebagai hadiah, sebelum pulang aku ditraktir Mama minum es teh manis disebuah warung di Prawirotaman – daerah yang dipenuhi kafe dan penginapan wisatawan asing. Oh yes, aku bisa ber-hi Sir, hi Mom-ria lagi sambil menyeruput segarnya es teh manisku. Sungguh luar biasa!

  1. Mama adalah seorang penyanyi kreatif! Mama nggak tampil di tv atau nyanyi di radio, tapi Mama selalu bernyanyi kecil untuk mengantarku tidur. Dan yang istimewa, lagunya bukan Nina Bobo, Timang-timang atau koleksi lagu pengantar tidur biasa. Mama lebih suka nyanyi dalam lagu bahasa Jawa yang judulnya Yen Ing Tawang Ono Lintang atau Gethuk. Lagu yang pertama itu, kalau dalam bahasa Indonesia kira-kira artinya, “Saat Ada Bintang di Langit”. Syairnya bercerita tentang rasa rindu untuk kekasih di malam hari. Tapi aku kecil merasa lagu itu dinyanyikan untukku karena ada kata “cah ayu” di dalamnya. Cah ayu, artinya anak yang cantik. Dan Mama selalu tersenyum dan menatapku penuh kasih setiap nyanyiannya sampai pada syair yang ada “cah ayu”-nya. Memandang raut wajah Mama saat itu serasa menatap purnama. Terang, bersinar penuh kasih dan begitu memesona.
Sementara lagu Gethuk artinya ya gethuk. Penganan khas dari Jawa Tengah yang rasanya manis-legit. Apa hubungannya gethuk dengan menidurkan anak? Kurasa, tidak ada. Tapi karena itulah kusebut Mama penyanyi kreatif. Lagi pula, kata gethuk berirama dengan ngantuk. Jadi kupikir pas saja Mama memilihnya untuk mengantarku tidur.

  1. Selain nyanyian, Mama selalu berdoa untukku, tak peduli aku sudah tidur karena nyanyiannya atau belum. Doa Mama sederhana, tapi indah penuh makna. Mama tidak mengucapkannya sambil menunduk, tidak pula mengadah. Mama mangucapkannya di dekat telingaku. Seperti bisikan kata-kata lembut yang membuai. Sekaligus menjadi pesan yang membelai. Doa Mama berbeda-beda, tapi ada beberapa kata yang serupa setiap harinya dan tak pernah aku lupa. “Tuhan berikan selalu kesehatan, keselamatan dan kedamaian untuk Eva. Berikan dia selalu tersenyum manis, jadikan ia selalu bahagia. Berkati dia dunia yang penuh cinta, bekali dengan kekuatan untuk menghadapi segala ujian. Dan terima kasih Tuhan, Kau beri hamba seorang anak cantik yang membanggakan. Amin.”
Setelah membisikkan doa, Mama akan memberi ponten di keningku dengan ujung telunjuknya. Ponten itu maksudnya nilai seberapa ‘manis’ aku hari ini. Aku selalu tegang menunggu ponten itu. Seolah-olah menarik napas pun aku tak beranio sebelum tahu berapa ponten-ku. Padahal Mama tidak pernah memberi ponten kurang dari tujuh. Bahkan kalau pun aku begitu nakal seharian itu.
Aku pernah bertanya, “Kenapa ponten-ku tetap bagus, Ma? Kenapa aku nggak pernah dapet ponten 3 atau 5?”
Mama tertawa mendengar pertanyaanku. Mama bilang, “Karena Mama tahu kamu sudah menyadari kalau kamu nakal hari ini, menyesal, dan tidak akan mengulanginya.” Setelah itu Mama akan mengecup kedua pelupuk mataku, kemudian mematikan lampu.
Suatu hari, tanpa kami duga dan tanpa sakit sebelumnya, Papa meninggal dunia. Aku masih SD waktu itu dan Mama pun masih begitu muda untuk menjadi seorang janda. Terus terang, meskipun aku sudah tahu apa artinya meninggal, aku belum memahami benar apa yang sebenarnya akan kami hadapi dengan perginya Papa. Aku ‘hanya’ sedih melihat Papa tidur dengan wajah yang begitu pucat, tak bergerak, tak bicara. Tapi kemudian aku melihat begitu banyak orang datang kerumah kami dengan wajah berduka, beberapa diantaranya menangis iba. Jadi aku pun menangis sejadi-jadinya, sekeras-kerasnya. Aku terus menggil-manggil Papa dengan pilu dan tidak mau beranjak dari sisi jenazahnya.
            Sementara Mama justru tidak menangis. Matanya merah dan basah, tapi tidak menangis seperti aku. Mama tampak sibuk menyalami semua pelayat yang datang sambil mengurus tikar, kain panjang dan entah apalagi. Saat saudara-saudara Mama sudah datang dan membantu segala yang diperlukan, Mama duduk diam di sisi jenazah Papa bersamaku. Tetap tidak menangis tapi juga tidak ‘baik-baik saja’. Mama menampilkan ekspresi yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ekspresi yang tidak aku mengerti. Aku memeluk Mama, berharap Mama mengatakan sesuatu. Tapi Mama tetap diam. Aku terisak, “Ma, Papa pergi. Papa sudah nggak ada.” Mama hanya mengangguk, mencium keningku lalu kembali diam. Hanya saat seorang sahabat Mama datang dan memeluknya erat, aku mendengar lirih Mama berkata, “Aku kehilangan seorang teman dan kekasih. Aku nggak tahu apa yang sekarang harus kulakukan.”
            Apa yang harus Mama lakukan sepeninggal Papa? Ternyata banyak luar biasa. Mama terpaksa mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga dan menghadapi sendiri semua masalah yang kemudian muncul berurutan. Bagai badai kencang, masalah-masalah itu menerpa keluarga kami tanpa henti. Mulai dari kontrakan rumah yang tak sanggup kami bayar hingga benda-benda peninggalan Papa yang satu per satu terpaksa digadai. Agar dapat bertahan, Mama juga berusaha melamar kerja ke sana-ke sini meskipun tidak punya pengalaman. Mulai melamar untuk pekerjaan kantoran, sampai jadi tukan cuci rambut di sebuah sanggar kecantikan.

Beberapa bulan kemudian, persediaan uang kami semakin menipis. Mama menyerah dan terpaksa membawaku menumpang tinggal di rumah salah satu saudaranya. Karena tahu diri dan tidak ingin terus dikasihani. Mama semakin giat bekerja dan menjadi lebih sibuk dari biasanya. Hidup kami pun berubah. Hubunganku dengan Mama berubah. Mama tidak pernah lagi membuat kue keju. Tidak dengan inisial namaku, tidak dengan bentuk apa-apa. Tidak ada lagi lagu-lagu dan doa pengantar tidur, karena Mama sendiri sering pulang larut malam lalu langsung tertidur akibat kelelahan. Dan disaat Mama belum tidur, aku lebih sering mendengarnya menangis pilu dikamar sebelah. Kudengar juga sesekali Mama memanggil nama Papa, seakan-akan Papa masih hidup dan ada disitu. Mendengarkan keluh-kesah Mama tentang kerasnya hidup.
            Aku? Aku sedih, aku marah. Aku tidak menyukai keadaan keluarga kami yang seperti ini. Aku ingin bisa bersenang-senang dengan Mama seperti dulu lagi. Aku ingin Mama kembali menjadi Mama yang dulu lagi. Bukan Mama yang selalu tampak letih, penuh pikiran, kusut dan jarang tersenyum seperti sekarang ini. Aku bukan jahat, aku hanya terlalu kecil untuk mengerti apalagi berempati. Aku sudah jadi yatim, tapi tidak ingin merasakan piatu juga. Aku hanya ingin Mama ‘kembali’ seperti dulu. Itu saja.
            Tapi seperti juga Papa, Mama tidak pernah kembali. Sedikit demi sedikit keceriaan yang dulu kumiliki pun menuap entah ke mana. Mungkin dimakan lintang, yang sudah tak pernah menghiburku lagi. Seperti juga wajah Mama, yang sudah tidak bersinar bak purnama lagi.

            Apa yang terjadi setelah itu pun lebih buruk dari yang pernah kubayangkan. Setelah bertahun-tahun bergulat dengan berbagai cobaan hidup, Mama divonis menderita gangguan juwa. Jangankan purnama, seringkali Mama hanya duduk dengan wajah hampa disudut kamarnya.

            Saat dokter menyebutkan kata ‘kronis’ untuk menggambarkan kondisi Mama, ditelingaku yang terngiang adalah kata ‘habis’. Habis sudah harapanku, habis sudah mimpiku untuk bisa membuat Mama ‘kembali’. Apalagi pengobatan yang selama ini dianjurkan dokter untuk Mama jalani membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal untuk biaya pengobatan itu, kami terpaksa bergantung pada bantuan saudara-saudara Mama saja. Itu pun sudah tidak enak betul rasanya. Mengingat uang sekolah dan biaya hidup sehari-hari juga sudah menjadi tanggungan mereka.

            Kalau sudah memikirkan semua keadaan ini, hari dan hidupku seperti berhenti. Hilang arah, hilang gairah, serba salah. Memang Mama yang divonis menderita gangguan jiwa, tapi rasanya aku yang setiap hari jadi semakin gila!

Begitu gilanya aku sampai suatu hari aku nekad memotong poni dan ujung-ujung rambutku sendiri. Seperti di fil-film maksudku! Si tokoh dalam film digambarkan begitu stres, terus menggunting rambutnya sambil marah-marah tanpa memikirkan model apapun. Dan setelah itu, ajaib – rambutnya malah jadi keren! Tapi sekali lagi, itu Cuma terjadi di film.
Dalam kisah hidup nyata seperti hidupku, adegan potong rambut sendiri akan berakhir dengan kapanikan saat melihat hasilnya di cermin.

Guntingan rambutku tidak rata dan jadi seperti zig-zag nggak karuan! Ya, Tuhan! Harus diapain dong kalau sudah begini? Panik karena nggak mungkin berangkat kuliah dengan rambut seperti ini, aku berusaha ‘merapikan’ ujung-ujungnya sampai berbentuk segitiga kecil-kecil. Hasilnya lumayan, meskipun tidak bisa dibilang menakjubkan. Kuamati betul-betul hasil ‘lumayan’ meskipun tidak bisa dibilang menakjubkan. Kuamati betul-betul hasil ‘lumayan’ tadi, lalu kulirik jam yang menggantung di dinding.
Aku harus berangkat sekarang juga kalau tidak mau terlambat. Ya sudah, biar, biar saja! Kalau ada orang yang bilang rambutku aneh, aku akan bilang, “Bukan aneh, Cuma unik!”
Dengan rasa nggak pe-de yang berusaha kupendam dalam-dalam, aku melangkah keluar dari kamar dan mencari Mama untuk pamit. Ritual yang sudah selalu kulakukan meskipun aku tahu aku hanya akan mendapat respon serupa: gumaman tak jelas dari bibir Mama atau pandangan kosongnya ke jendela.

Tapi kali ini Mama menoleh! Beliau menatapku beberapa saat dan sekelebat aku bisa menangkap sinar dimatanya. Melihat reaksi Mama, Aku melangkah mendekatinya, bersimpuh dihadapannya sambil meletakkan telapak tangannya di kepalaku. “Eva pamit ya Ma, mau berangkat kuliah dulu,” kuulangi kata-kataku sebelumnya Mama mengangguk palan. Pelan sekali. Tatapannya sekarang beralih ke poni segitiga kecil-kecilku. Lalu kutangkap segaris senyum di bibir pucat Mama. Segaris. Hampir tak terlihat karena sangat amat tipis. Tapi untukku senyum itu layaknya anugrah. Senyum itu begitu indah.
            Aku segera bangkit begitu Mama mulai melempar pandangannya ke jendela seperti biasa. Lalu aku melangkah keluar rumah. Aku tidak menangis, tidak sama sekali dan tidak setetes pun. Aku tersenyum lebar hari ini. Aku senang luar biasa dan seperti baru memperoleh pencerahan dari surga. Aku merasa ini hari yang begitu istimewa. Bagaimana tidak? Perubahan yang begitu kecil di mata Mama seperti jawaban sebuah doa. Senyum yang begitu tipis dibibirnya menjadi tanda bahwa aku masih bisa berharap. Mimpi itu masih ada dan aku harus segera mengejarnya. Bukan dokter, bukan obat-obatan, bukan siapa-siapa. Tapi aku, anaknya. Anaknya yang dulu menganggap Mama superhero yang begitu luar biasa. Anaknya yang dulu selalu ceria.
            Maka itulah yang sekarang terus kukerjakan. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Seperti bagaimana berartinya tatapan dan senyum Mama saat aku kecil dulu, sekarang aku percaya kalau satu senyumku bisa jadi satu senyum Mama.
“Aku percaya keceriian dan perhatianku juga bisa membawa kesembuhan untuknya. Nggak kalah sama obat-obatan paling mahal di dunia yang saat ini belum sanggup kubelikan buat Mama.”

Kalau dulu Mama punya begitu banyak usaha hebat untuk menyenangkanku, kenapa sekarang aku tidak berusaha sebisaku untuk menghibur Mama? Lagi pula setidaknya ada 5 hal juga yang bisa kulakukan setiap hari untuk Mama:

  1. Aku beli nugget ayam berbentuk huruf-huruf alfabet itu. Kugoreng, terus kusuapin buat Mama sambil aku ngoceh panjang lebar tentang masalah paten dan royalti kue keju Mama itu. Sampai sekarang, aku memang masih nggak tahu apa bedanya hak paten dan royalti, tapi selama Mama makan lahap dan mendengarkan ceritaku – sudahlah, itu saja sudah berarti.

  1. Aku gantian bernyanyi untuk Mama. Lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang, Gethuk, sampai lagu-lagu baru yang pas buat Mama. Saat ini, aku lagi suka banget sama Surga Di Telapak Kakimu-nya Gita Gutawa. Wah, lagu itu Mama banget! Aku bisa menyanyikan sambil membersihkan kaki Mama dengan handuk hangat. Kaki Mama sekarang jarang dipakai berjalan, jadi kering dan butuh kurawat. Kadang-kadang, aku mengusapkan pelembab bahkan mengoleskan kuteks cantik di kuku-kuku kakinya. Dahi Mama biasanya berkernyit sedikit setelah melihat hasilnya – persis seperti kalau Mama mendengarku menyanyikan lagu I Love You Bibeh-nya The Changcuters!

  1. Aku sengaja belajar dan bikin tugas-tugas kuliahku disebelah Mama, kalau Mama lagi duduk di kamar, aku baca buku di kamarnya. Kalau Mama ke teras, aku ikut membaca ke sana. Biar Mama tahu, aku tetap semangat belajar. Biar Mama tahu, aku tetap ingat bagaimana beliau selalu mengutamakan pendidikan bagi anaknya.
4.      Aku juga membuat sebaskom air sabun untuk dijadikan balon gelembung! Di sore hari aku akan meniup dan mengejar gelembung-gelembung itu di depan Mama. Kurasa aku cukup berhasil, karena mata Mama biasanya akan mengikuti ke mana gelembung-gelembung itu melayang. Dan bibir Mama akan mengukir senyum tipis setiap aku berhasil mengejar dan menepuk semuanya.

5.      Last but not least, aku gantian berdoa untuk Mama. Kubisikkan ditelinganya menjelang tidur, persis seperti yang dilakukan dulu untukku.

“Tuhan berikan kesehatan, keselamatan, dan kedamaian untuk Mama. Izinkan Mama kembali tersenyum manis, angkat semua bebannya dan jadikan Mama selalu bahagia. Biarkan Mama tahu betapa Mama selalu dicintai serta buat kami berdua agar mampu menghadapi segala ujian ini.”

            Mama tetap butuh pengobatan dan suatu hari nanti aku yakin Kau akan memberikan kami jalan untuk memperolehnya. Tapi sebelum saat itu datang, aku nggak akan diam menunggu. Aku lahir dari rahimnya, aku hidup karena dia. Aku tidak akan berpikir dua kali untuk membahagiakan Mama. Tidak akan menunggu belas kasihan maupun keajaiban untuk kesembuhannya. Izinkan aku ya Tuhan, ridhoi aku ya Rabbi. Berikan aku kemudahan untuk menghadirkan kembali sinar purnama di wajah Mama. Amin.


“Aku tahu hidup tak bisa menunggu, maka begitu juga aku tidak akan berpikir dua kali untuk membahagiakan Mama”

Sumber: Buku 'Hidup tak bisa Menunggu' karya Prameshwari Sugiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar