K
|
alau ada orang yang bertanya padaku: Siapa superhero yang paling
keren menurut kamu?
Aku
bakal langsung menjawab tanpa ragu: Mama!
Tak hanya mengandung,
melahirkan dan menyusuiku, Mama juga melakukan banyak sekali kehebatan selama
ia membesarkanku. Tapi kalau diminta menulis semua kehebatan Mama, kurasa aku
perlu membabat semua pohon dibelantara Kalimantan untuk dibuat kertas. Karena
nggak mungkin (dan nggak mau merusak lingkungan hidup! Hehe...).
Akan kuceritakan
salah-lima saja dari ratusan bahkan atau bahkan ribuan kehebatannya.
- Mama bisa membuat kue bekalku kesekolah lebih enak dibanding kue keju buatan ibu-ibu teman-temanku. Memang aku nggak pernah (meskipun mau!) mencoba satu-per satu kue buatan ibu mereka, tapi Cuma kue keju buatan Mama yang bentuknya bisa kupesan sesuai keinginanku. Mau bulat-bulat, kurus-kurus panjang, segitiga, sampai bentuk bintang dan bulan sabit. Suatu hari, Mama bahkan memberi kejutan dengan membuat kue keju berbentuk inisial namaku! Makanya sekarang aku sering terpikir untuk mengklaim hak paten setiap melihat produk nugget ayam di supermarket yang dibentuk menjadi huruf-huruf alfabet. Aku yakin, produsennya pasti nyontek ide Mama!
- Mama pandai membuat gelembung sabun! Ini permainan favoritku dulu. Setelah aku mandi sore (dan pakai bedak dipipi sampai cemong!), Mama akan mengeluarkan baskom kecil berisi racikan air sabun. Entah apa yang dimasukkan Mama kedalamnya atau bagaimana komposisi air dan sabunnya. Yang jelas, racikan Mama bisa menghasilkan gelembung yang banyak dan tidak mudah pecah. Lantas Mama akan duduk dilantai teras rumah kami, meniup selaput sabun dengan lekukan kawat yang diambilnya dari bekas gantungan baju lalu membiarkanku mengejar gelembung sampai puas.
- Tidak hanya melulu bermain,
Mama juga selalu peduli pendidikan dan mengusahakan agar aku dapat
pendidikan yang terbaik – meskipun kami kesulitan biaya. Pernah satu waktu
aku ngotot ikut les Bahasa Inggris karena iri melihat anak-anak sekolah
swasta yang sudah dapat pelajaran bahasa inggris sejak SD. Mama bilang,
aku bisa belajar bahasa inggris tanpa harus les yang mahal. Jadilah suatu
hari Minggu kami ke tengah kota. Tujuannya: Malioboro! Setiap kami
berpapasan dengan turis asing disana, Mama menyuruhku menegurnya. “Hi Sir,
how are you?” atau “Hi Mam, my name is Eva!”. Hahaha...
Sederhana
memang, tapi aku langsung merasa jadi anak paling cas-cis-cus se-Yogyakarta.
Mama juga tampak bangga dan sebagai hadiah, sebelum pulang aku ditraktir Mama
minum es teh manis disebuah warung di Prawirotaman – daerah yang dipenuhi kafe
dan penginapan wisatawan asing. Oh yes, aku bisa ber-hi Sir, hi Mom-ria lagi
sambil menyeruput segarnya es teh manisku. Sungguh luar biasa!
- Mama
adalah seorang penyanyi kreatif! Mama nggak tampil
di tv atau nyanyi di radio, tapi Mama selalu bernyanyi kecil untuk
mengantarku tidur. Dan yang istimewa, lagunya bukan Nina Bobo, Timang-timang atau koleksi lagu pengantar tidur
biasa. Mama lebih suka nyanyi dalam lagu bahasa Jawa yang judulnya Yen Ing Tawang Ono Lintang atau Gethuk.
Lagu yang pertama itu, kalau dalam bahasa Indonesia kira-kira artinya, “Saat Ada Bintang di Langit”. Syairnya
bercerita tentang rasa rindu untuk kekasih di malam hari. Tapi aku kecil
merasa lagu itu dinyanyikan untukku karena ada kata “cah ayu” di dalamnya. Cah
ayu, artinya anak yang cantik. Dan Mama selalu tersenyum dan menatapku
penuh kasih setiap nyanyiannya sampai pada syair yang ada “cah ayu”-nya. Memandang
raut wajah Mama saat itu serasa menatap purnama. Terang, bersinar penuh
kasih dan begitu memesona.
Sementara lagu Gethuk artinya ya
gethuk. Penganan khas dari Jawa Tengah yang rasanya
manis-legit. Apa hubungannya gethuk
dengan menidurkan anak? Kurasa, tidak ada. Tapi karena itulah kusebut Mama
penyanyi kreatif. Lagi pula, kata gethuk
berirama dengan ngantuk. Jadi kupikir pas saja Mama memilihnya untuk
mengantarku tidur.
- Selain
nyanyian, Mama selalu berdoa untukku, tak
peduli aku sudah tidur karena nyanyiannya atau belum. Doa Mama sederhana,
tapi indah penuh makna. Mama tidak mengucapkannya sambil menunduk, tidak
pula mengadah. Mama mangucapkannya di dekat telingaku. Seperti bisikan
kata-kata lembut yang membuai. Sekaligus menjadi pesan yang membelai. Doa Mama
berbeda-beda, tapi ada beberapa kata yang serupa setiap harinya dan tak
pernah aku lupa. “Tuhan berikan
selalu kesehatan, keselamatan dan kedamaian untuk Eva. Berikan dia selalu
tersenyum manis, jadikan ia selalu bahagia. Berkati dia dunia yang
penuh cinta, bekali dengan kekuatan untuk menghadapi segala ujian. Dan terima
kasih Tuhan, Kau beri hamba seorang anak cantik yang membanggakan. Amin.”
Setelah
membisikkan doa, Mama akan memberi ponten
di keningku dengan ujung telunjuknya. Ponten
itu maksudnya nilai seberapa ‘manis’ aku hari ini. Aku selalu tegang menunggu
ponten itu. Seolah-olah menarik napas pun aku tak beranio sebelum tahu berapa ponten-ku. Padahal Mama tidak pernah
memberi ponten kurang dari tujuh. Bahkan
kalau pun aku begitu nakal seharian itu.
Aku
pernah bertanya, “Kenapa ponten-ku
tetap bagus, Ma? Kenapa aku nggak pernah dapet ponten 3 atau 5?”
Mama
tertawa mendengar pertanyaanku. Mama bilang, “Karena Mama tahu kamu sudah
menyadari kalau kamu nakal hari ini, menyesal, dan tidak akan mengulanginya.” Setelah
itu Mama akan mengecup kedua pelupuk
mataku, kemudian mematikan lampu.
Suatu hari,
tanpa kami duga dan tanpa sakit sebelumnya, Papa meninggal dunia. Aku masih SD
waktu itu dan Mama pun masih begitu muda untuk menjadi seorang janda. Terus terang,
meskipun aku sudah tahu apa artinya meninggal, aku belum memahami benar apa
yang sebenarnya akan kami hadapi dengan perginya Papa. Aku ‘hanya’ sedih
melihat Papa tidur dengan wajah yang begitu pucat, tak bergerak, tak bicara. Tapi
kemudian aku melihat begitu banyak orang datang kerumah kami dengan wajah
berduka, beberapa diantaranya menangis iba. Jadi aku pun menangis
sejadi-jadinya, sekeras-kerasnya. Aku terus menggil-manggil Papa dengan pilu
dan tidak mau beranjak dari sisi jenazahnya.
Sementara Mama justru tidak menangis.
Matanya merah dan basah, tapi tidak menangis seperti aku. Mama tampak sibuk
menyalami semua pelayat yang datang sambil mengurus tikar, kain panjang dan
entah apalagi. Saat saudara-saudara Mama sudah datang dan membantu segala yang
diperlukan, Mama duduk diam di sisi jenazah Papa bersamaku. Tetap tidak
menangis tapi juga tidak ‘baik-baik saja’. Mama menampilkan ekspresi yang belum
pernah aku lihat sebelumnya. Ekspresi yang tidak aku mengerti. Aku memeluk
Mama, berharap Mama mengatakan sesuatu. Tapi Mama tetap diam. Aku terisak, “Ma,
Papa pergi. Papa sudah nggak ada.” Mama hanya mengangguk, mencium keningku lalu
kembali diam. Hanya saat seorang sahabat Mama datang dan memeluknya erat, aku
mendengar lirih Mama berkata, “Aku kehilangan seorang teman dan kekasih. Aku nggak
tahu apa yang sekarang harus kulakukan.”
Apa yang harus Mama lakukan sepeninggal
Papa? Ternyata banyak luar biasa. Mama terpaksa mengambil peran sebagai
tulang punggung keluarga dan menghadapi sendiri semua masalah yang kemudian
muncul berurutan. Bagai badai kencang, masalah-masalah itu menerpa keluarga
kami tanpa henti. Mulai dari kontrakan rumah yang tak sanggup kami bayar hingga
benda-benda peninggalan Papa yang satu per satu terpaksa digadai. Agar dapat
bertahan, Mama juga berusaha melamar kerja ke sana-ke sini meskipun tidak punya
pengalaman. Mulai melamar untuk pekerjaan kantoran, sampai jadi tukan cuci
rambut di sebuah sanggar kecantikan.
Beberapa
bulan kemudian, persediaan uang kami semakin menipis. Mama menyerah dan
terpaksa membawaku menumpang tinggal di rumah salah satu saudaranya. Karena tahu
diri dan tidak ingin terus dikasihani. Mama semakin giat bekerja dan menjadi
lebih sibuk dari biasanya. Hidup kami pun berubah. Hubunganku dengan Mama
berubah. Mama tidak pernah lagi membuat kue keju. Tidak dengan inisial namaku,
tidak dengan bentuk apa-apa. Tidak ada lagi lagu-lagu dan doa pengantar tidur,
karena Mama sendiri sering pulang larut malam lalu langsung tertidur akibat
kelelahan. Dan disaat Mama belum tidur, aku lebih sering mendengarnya menangis
pilu dikamar sebelah. Kudengar juga sesekali Mama memanggil nama Papa,
seakan-akan Papa masih hidup dan ada disitu. Mendengarkan keluh-kesah Mama
tentang kerasnya hidup.
Aku? Aku sedih, aku marah. Aku tidak
menyukai keadaan keluarga kami yang seperti ini. Aku ingin bisa
bersenang-senang dengan Mama seperti dulu lagi. Aku ingin Mama kembali menjadi Mama
yang dulu lagi. Bukan Mama yang selalu tampak letih, penuh pikiran, kusut dan
jarang tersenyum seperti sekarang ini. Aku bukan jahat, aku hanya terlalu kecil
untuk mengerti apalagi berempati. Aku sudah jadi yatim, tapi tidak ingin
merasakan piatu juga. Aku hanya ingin Mama ‘kembali’ seperti dulu. Itu saja.
Tapi seperti juga Papa, Mama tidak
pernah kembali. Sedikit demi sedikit keceriaan yang dulu kumiliki pun menuap
entah ke mana. Mungkin dimakan lintang, yang sudah tak pernah menghiburku lagi.
Seperti juga wajah Mama, yang sudah tidak bersinar bak purnama lagi.
Apa yang terjadi setelah itu pun
lebih buruk dari yang pernah kubayangkan. Setelah bertahun-tahun bergulat
dengan berbagai cobaan hidup, Mama divonis menderita gangguan juwa. Jangankan purnama,
seringkali Mama hanya duduk dengan wajah hampa disudut kamarnya.
Saat dokter menyebutkan kata ‘kronis’
untuk menggambarkan kondisi Mama, ditelingaku yang terngiang adalah kata ‘habis’.
Habis
sudah harapanku, habis sudah mimpiku untuk bisa membuat Mama ‘kembali’.
Apalagi pengobatan yang selama ini dianjurkan dokter untuk Mama jalani
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal untuk biaya pengobatan itu, kami
terpaksa bergantung pada bantuan saudara-saudara Mama saja. Itu pun sudah tidak
enak betul rasanya. Mengingat uang sekolah dan biaya hidup sehari-hari juga
sudah menjadi tanggungan mereka.
Kalau sudah memikirkan semua keadaan
ini, hari dan hidupku seperti berhenti. Hilang arah, hilang gairah, serba salah.
Memang Mama yang divonis menderita gangguan jiwa, tapi rasanya aku yang setiap
hari jadi semakin gila!
Begitu
gilanya aku sampai suatu hari aku nekad memotong poni dan ujung-ujung rambutku
sendiri. Seperti di fil-film maksudku! Si tokoh dalam film digambarkan begitu stres,
terus menggunting rambutnya sambil marah-marah tanpa memikirkan model apapun. Dan
setelah itu, ajaib – rambutnya malah jadi keren! Tapi sekali lagi, itu Cuma terjadi
di film.
Dalam kisah hidup nyata seperti hidupku,
adegan potong rambut sendiri akan berakhir dengan kapanikan saat melihat
hasilnya di cermin.
Guntingan
rambutku tidak rata dan jadi seperti zig-zag
nggak karuan! Ya, Tuhan! Harus diapain
dong kalau sudah begini? Panik karena nggak mungkin berangkat kuliah dengan
rambut seperti ini, aku berusaha ‘merapikan’ ujung-ujungnya sampai berbentuk
segitiga kecil-kecil. Hasilnya lumayan, meskipun tidak bisa dibilang
menakjubkan. Kuamati betul-betul hasil ‘lumayan’ meskipun tidak bisa dibilang
menakjubkan. Kuamati betul-betul hasil ‘lumayan’ tadi, lalu kulirik jam yang
menggantung di dinding.
Aku
harus berangkat sekarang juga kalau tidak mau terlambat. Ya sudah, biar, biar
saja! Kalau ada orang yang bilang rambutku aneh, aku akan bilang, “Bukan aneh, Cuma
unik!”
Dengan
rasa nggak pe-de yang berusaha kupendam dalam-dalam, aku melangkah keluar dari
kamar dan mencari Mama untuk pamit. Ritual yang sudah selalu kulakukan meskipun
aku tahu aku hanya akan mendapat respon serupa: gumaman tak jelas dari bibir
Mama atau pandangan kosongnya ke jendela.
Tapi
kali ini Mama menoleh! Beliau menatapku beberapa saat dan
sekelebat aku bisa menangkap sinar dimatanya. Melihat reaksi Mama, Aku
melangkah mendekatinya, bersimpuh dihadapannya sambil meletakkan telapak
tangannya di kepalaku. “Eva pamit ya Ma, mau berangkat kuliah dulu,” kuulangi
kata-kataku sebelumnya Mama mengangguk palan. Pelan sekali. Tatapannya sekarang
beralih ke poni segitiga kecil-kecilku. Lalu kutangkap segaris senyum di bibir
pucat Mama. Segaris. Hampir tak terlihat karena sangat amat tipis. Tapi untukku
senyum itu layaknya anugrah. Senyum itu begitu indah.
Aku segera bangkit begitu Mama mulai
melempar pandangannya ke jendela seperti biasa. Lalu aku melangkah keluar
rumah. Aku tidak menangis, tidak sama sekali dan tidak setetes pun. Aku tersenyum
lebar hari ini. Aku senang luar biasa dan seperti baru memperoleh pencerahan
dari surga. Aku merasa ini hari yang begitu istimewa. Bagaimana tidak? Perubahan
yang begitu kecil di mata Mama seperti jawaban sebuah doa. Senyum yang begitu
tipis dibibirnya menjadi tanda bahwa aku masih bisa berharap. Mimpi itu masih
ada dan aku harus segera mengejarnya. Bukan dokter, bukan obat-obatan, bukan
siapa-siapa. Tapi aku, anaknya. Anaknya yang dulu menganggap Mama superhero yang begitu luar biasa. Anaknya
yang dulu selalu ceria.
Maka itulah yang sekarang terus
kukerjakan. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Seperti bagaimana
berartinya tatapan dan senyum Mama saat aku kecil dulu, sekarang aku percaya
kalau satu senyumku bisa jadi satu senyum Mama.
“Aku
percaya keceriian dan perhatianku juga bisa membawa kesembuhan untuknya. Nggak kalah
sama obat-obatan paling mahal di dunia yang saat ini belum sanggup kubelikan
buat Mama.”
Kalau
dulu Mama punya begitu banyak usaha hebat untuk menyenangkanku, kenapa sekarang
aku tidak berusaha sebisaku untuk menghibur Mama? Lagi pula setidaknya ada 5
hal juga yang bisa kulakukan setiap hari untuk Mama:
- Aku beli nugget ayam berbentuk
huruf-huruf alfabet itu. Kugoreng, terus kusuapin buat Mama sambil aku
ngoceh panjang lebar tentang masalah paten dan royalti kue keju Mama itu. Sampai
sekarang, aku memang masih nggak tahu apa bedanya hak paten dan royalti,
tapi selama Mama makan lahap dan mendengarkan ceritaku – sudahlah, itu
saja sudah berarti.
- Aku gantian bernyanyi untuk
Mama. Lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang, Gethuk, sampai lagu-lagu baru yang
pas buat Mama. Saat ini, aku lagi suka banget sama Surga Di Telapak
Kakimu-nya Gita Gutawa. Wah, lagu itu Mama banget! Aku bisa menyanyikan
sambil membersihkan kaki Mama dengan handuk hangat. Kaki Mama sekarang
jarang dipakai berjalan, jadi kering dan butuh kurawat. Kadang-kadang, aku
mengusapkan pelembab bahkan mengoleskan kuteks cantik di kuku-kuku
kakinya. Dahi Mama biasanya berkernyit
sedikit setelah melihat hasilnya – persis seperti kalau Mama mendengarku
menyanyikan lagu I Love You Bibeh-nya The Changcuters!
- Aku sengaja belajar dan bikin
tugas-tugas kuliahku disebelah Mama, kalau Mama lagi duduk di kamar, aku
baca buku di kamarnya. Kalau Mama ke teras, aku ikut membaca ke sana. Biar
Mama tahu, aku tetap semangat belajar. Biar Mama tahu, aku tetap ingat
bagaimana beliau selalu mengutamakan pendidikan bagi anaknya.
4.
Aku juga membuat sebaskom air sabun
untuk dijadikan balon gelembung! Di sore hari aku akan meniup dan mengejar
gelembung-gelembung itu di depan Mama. Kurasa aku cukup berhasil, karena mata
Mama biasanya akan mengikuti ke mana gelembung-gelembung itu melayang. Dan bibir
Mama akan mengukir senyum tipis setiap aku berhasil mengejar dan menepuk
semuanya.
5.
Last
but not least, aku gantian berdoa untuk Mama. Kubisikkan
ditelinganya menjelang tidur, persis seperti yang dilakukan dulu untukku.
“Tuhan
berikan kesehatan, keselamatan, dan kedamaian untuk Mama. Izinkan Mama kembali
tersenyum manis, angkat semua bebannya dan jadikan Mama selalu bahagia. Biarkan
Mama tahu betapa Mama selalu dicintai serta buat kami berdua agar mampu
menghadapi segala ujian ini.”
Mama tetap butuh pengobatan dan
suatu hari nanti aku yakin Kau akan memberikan kami jalan untuk memperolehnya. Tapi
sebelum saat itu datang, aku nggak akan diam menunggu. Aku lahir dari rahimnya,
aku hidup karena dia. Aku tidak akan berpikir dua kali untuk membahagiakan
Mama. Tidak akan menunggu belas kasihan maupun keajaiban untuk kesembuhannya. Izinkan
aku ya Tuhan, ridhoi aku ya Rabbi. Berikan aku kemudahan untuk menghadirkan
kembali sinar purnama di wajah Mama. Amin.
“Aku
tahu hidup tak bisa menunggu, maka begitu juga aku tidak akan berpikir dua kali
untuk membahagiakan Mama”
Sumber: Buku 'Hidup tak bisa Menunggu' karya Prameshwari Sugiri
Sumber: Buku 'Hidup tak bisa Menunggu' karya Prameshwari Sugiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar